galeri

galeri

RAUDLATUL MUTA'ALLIMIN JATIPURWO

Kamis, 31 Desember 2009

profil pprm

Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Raudlatul Muta'allimin yang berlokasi di perkampungan padat penduduk di Jalan Jatipurwo, Keluharan Ujung, Surabaya, adalah salah satu dari sedikit pondok pesantren di negeri ini yang sampai sekarang tetap menjaga tradisi pesantren salafiyah. Artinya, kaum santri yang mondok, waktunya sepenuhnya tercurah hanya untuk belajar mendalami ilmu-ilmu agama, seperti ilmu fikih, hadits, tafsir Al Quran, aqidah, atau tauhid.

"Sebenarnya terbesit keinginan untuk mengembangkan lembaga pendidikan umum, tetapi karena tidak ada lagi lahan kosong, kami tetap mempertahankan dan menjaga tradisi pesantren salafiyah. Alhamdulillah sampai sekarang ini santri yang mondok di sini tidak surut," kata pengasuh Pondok Pesantren Darul Ubudiyah Raudlatul Muta'allimin Surabaya KH Minannurrochman Bin Usman Al-Ishaqi.

Ponpes Darul Ubudiyah Raudlatul Muta'allimin didirikan KH Muhammad Usman Al-Ishaqi pada tahun 1957. Saat itu hanya 15 santri yang merupakan warga kampung sekitar. Baru pada tahun 1963 dengan menempati empat kamar, santri pondok bertambah menjadi 70 orang.

"Belasan santri itu oleh Kiai Usman diajari ilmu fikih dengan kitab Sulam Safinah sebagai bekal untuk menjalankan ubudiyah, termasuk rukun maupun wajibnya shalat," kata Kiai Minnanurrochman, putra ketiga almarhum KH Muhammad Usman.

Semasa hidupnya, Kiai Usman amat dekat dengan semua lapisan masyarakat. Hal itu tak lain karena sikap dan perilakunya yang luwes dan supel kepada semua orang, termasuk orang-orang China dan non-Muslim. Sikapnya yang santun dan menjaga perasaan orang lain membuat Kiai Usman disegani masyarakat, termasuk mereka-mereka yang suka minum minuman keras.

"Kiai Usman itu orangnya tidak pernah usil dan nyacat orang lain. Walaupun orang itu berbuat macam-macam, ayah saya tetap diam. Jadi, apa yang ditunjukkan oleh Kiai Usman itu adalah cerminan dari nilai-nilai Islam. Kesuksesan Islam di Indonesia, apa dengan cara kekerasan? Tidak. Dengan keluwesan yang ditunjukan oleh Wali Songo, termasuk Sunan Ampel, sehingga umat agama lain pun merasa damai," kata Kiai Minnanurrochman.

Sosok Kiai Usman, kata Minnanurrochman, adalah kiai yang belas kasih kepada orang tidak punya. Hal itulah yang sampai sekarang ini menjadi salah satu pijakan ponpes ini untuk senantiasa menampung kaum santri dari kalangan masyarakat bawah yang berniat memondokkan anak-anaknya untuk belajar dan mendalami agama Islam. "Uang pangkalnya cuma Rp 50.000. Itu pun kalau tidak punya, ya tidak bayar. Anak yatim tidak bayar dan kami tanggung biaya mondok-nya," katanya.

Cari ilmu, bukan ijazah

Kebersahajaan menjadi bagian dari sikap dan perilaku yang sampai sekarang ini senantiasa ditanamkan pada setiap santri. Pasalnya, Kiai Usman, sang pendiri, amat menekankan kebersahajaan dalam hidup menuju pembentukan akhlak yang baik. "Jadi, santri yang kaya harus mau mengikuti santri yang miskin. Tidak sombong dengan kekayaannya, tapi bersahaja sebagai manusia yang berakhlak mulia," katanya.

Kiai Minnanurrochman mengatakan, setiap santri ponpes harus menjadi orang yang bagus di sisi Allah maupun di sisi manusia. Hal itu tak lain adalah alumni ponpes harus pula bermanfaat untuk ummat (masyarakat). "Memperbaiki diri sendiri, itulah yang penting dan selalu ditekankan ayah saya, Kiai Usman kepada santrinya, setelah itu baru orang lain," kata Kiai Minnanurrochman, alumnus sejumlah ponpes di antaranya ponpes di Jatim dan Jateng.

Beberapa alumni Ponpes Darul Ubudiyah Raudlatul Muta'allimin di antaranya adalah KH Munawar Cholil, Pengasuh Ponpes Daruttaqwa, Suci, Gresik; KH Salatin, Pengasuh Ponpes Lombang, Blegah, Bangkalan (Madura); dan KH Salim, Pengasuh Ponpes Gelem, Bawean (Gresik).

Seiring dengan sejarah berdirinya ponpes dan thariqoh Qodariyah wa Naqsabandiyah yang diasuh oleh Kiai Usman, keberadaan sang kiai karismatik asal kampung Sawah Pulo (kini Jatipurwo) itu amat dirasakan oleh umat, termasuk umat Islam di negeri jiran, Malaysia, dan Singapura.

"Saya masih teringat, dua bulan sekali, ayah saya datang ke Malaysia ngasih pengajian dan cerita-cerita tentang Wali Songo kepada jemaah di sana. Beliau sampai dikenal di Malaysia dan Singapura, bukan karena thariqoh-nya, tapi keluwesannya kepada semua orang," ucap Kiai Minnanurrochman.

Sepeninggal Kiai Usman, wafat pada tahun 1984, ponpes ini pun dilanjutkan KH Minnanurrochman hingga sekarang ini. Satu hal yang patut direnungkan kaum santri ponpes salafiyah ini, kata Zainal yang juga pengawas ponpes Darul Ubudiyah Raudlatul Muta'allimin, adalah belajar di ponpes adalah mencari ilmu, bukan mencari selembar ijazah.

"Hadits Rasulullah, tholabul ilmi faridlotun ala kulli muslimin wa muslimatin, jelas-jelas menekankan yang dicari bukan ijazah, tapi ilmu. Jadi, ponpes ini tidak mengeluarkan ijazah, tapi membekali santri dengan ilmu agama," kata Zainal, cucu Kiai Usman itu.

2 komentar:

  1. Assalamu'@laikum,wr,wr,Salam Ta'aruf dr saya Achmad Chairudin,sblmnya mohon mf,saya mau menanyakn ttng Istighozah yg tercatat dikitab Miftahurrohmah terbitan dr Ponpes ini,apakah saya bisa/boleh mengamalkanya njiih...? Ditgg blsnya,Suwun,w.w.w.

    BalasHapus